Sunday, March 18, 2012

Bagaimana mungkin ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?

"Ustadz, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang berlaku aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murrobinya disuatu malam. Sang murrobi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya," Lalu apa yang ingn antum lakukan setelah merasakan semua itu?" saut sang murobbi satelah sesaat termenung.

"Aku ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus ana mendingan sendiri saja,' jawab mad'u itu. Sang murrobi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

"Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan??? tabya sang murobbi dengan kiasan bermakna dalam.


Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mndapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang begitu tepat."Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan? " sang murrobi mencoba memberi opsi." bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan, kesegaran air laut, atau bebas bermain-main dengan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekutan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang"? Dari mana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?'serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan mad'u.

Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadang memuncak, namun sang murrobi justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai keinginannya.

"Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ALLAH SWT? pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk." Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan atau memperbaikinya?' tanya sang murrobi lagi. Sang mad'u tetap terdiam dalam sesunggukkan tangis perlahan. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya,. Ana sadar. Maafkan ana, ana akan tetap istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapatkan medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhaatikan.

"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya ALLAH saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janjiNYA. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosaana," sang mad'u berazzam di hadapan murrobi.

Sang murrobi tersenyum," akhi, jamaah ini adalah jamaah manusia. Mereka adalah kumplan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi yang menyambut seruan ALLAH untuk berdakwah. Dengan begitu mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan ALLAH. Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Seabagaimana ALLAH SWT menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka dimata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata ALLAH, antum belum tentu lebih baik dari mereka."

"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidaksepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik? sambungnya panjang lebar," Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya menuding-menuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafir pun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khilafah. Kitalah yang diserahi amanat oleh ALLAH untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah. Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja.

Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murrobinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya," Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" Sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga." Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah ALLAH mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia mempunayi kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!" saut sang murrobi." Bekerjalah dengan iklhas. Berilah tausiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan itu selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkanlah segala penyakit hati antum terhadap saudara antum sendiri.


--unknown--

0 comments:

Post a Comment