#Gerakanmenutupaurat

Mengapa Harus Terbuka Sedang Yang tertutup Jauh Lebih Baik

Kajian Rutin

Setiap Senin di Musholah Ulul Al-Baab

Mountain

Allah Lah yang menciptakan ini semua

Mountains

Mountains Lake

Tuesday, February 28, 2012

HIKMA GERAKAN SHOLAT

1.TAKBIR (Mengangkat Tangan)
Memberika aliran darah dari pembuluh balik yang terdapat dilengan untuk diisikan ke mata, telinga, mulut.
2.SEDEKAP (Pengisian Pembuluh Darah di Organ-organ Kepala)
Menjepit pembuluh darah balik pada lengan kiri sehingga pembuluh darah ditangan kanan akan mengembang. Pada saat mengangkat tanganmau rukuk semprotan pembuluh darah berkecepatan tinggi di tangan kanan akan mengisi pembuluh darah yang ada di bagian kepala.
3.RUKUK (Pelenturan Memori Otak dan Ginjal)
Kelenturan tulang belakang yang berisi sumsum tulang, merupakan saraf sentral beserta sistem aliran darahnya. Rukuk yang sempurna akan menarik urat pinggang sehingga dapat mencegah sakit pinggang dan sakit ginjal. Tuas sistem keringat yang terdapat di pinggung, pinggang, paha , betis belakang, terpelihara oleh gerakan rukuk, dan tulang leher, serta saluran saraf memori juga terdapat kelenturannya.
4.I’TIDAL (Pencegah Sakit Kepala dan Pinggang)
Posisi I’tidal bangun dari rukuk membuat aliran darah turun langsung dari kepala, menyebabkan bagian pangkal otak yang mengatur keseimbangan berkurang tekanan darahnya. Sehinga dapat mencegah saraf keseimbangan tubuh kita sangat berguna untuk menghilangkan sakit kepala dan pingsan dengan tiba-tiba.
5.SUJUD (Pencegahan Koroner dan Stroke)
Pada saat sujud pembuluh darah nadi balik, dikunci dipangkal paha, sehingga tekana darah akan lebih banyak dialirkan kembali ke jantung dan di pompa ke kepala. Posisi sujud adalah cara maksimal untuk mengalirkan darah dan oksigen ke otak dan anggota tubuh di kepala. Posisi dujud adalah teknik terbaik untuk membongkar sumbatan pembuluh darah jantung sehingga mencegah koroner. Juga membuat pembuluh darah halus di otak mendapat tekanan lebih, sehingga bisa mencegah stroke.
6.DUDUK 2 SUJUD (Duduk Perkasa)
Tekukan kaki dan jari kaki dapat menyeimbangkan sistem elektrik dan saraf keseimbangan tubuh kita. Posisi duduk 2 sujud memperbaiki dan menjaga kelenturan saraf keperkasaan yang banyak terdapat pada bagian paha dalam, cekungan lutut sampai ibu jari kaki. Akibat lenturnya saraf keperkasaan ini akan mencegah diabetes, prostate dan hernia.
7.DUDUK TAHIYYAT AWAL (Duduk Pembakaran)
Posisi duduk ini jika agak lama sehingga lipatan paha dan betis bertemu, akan mengaktifkan kelenjar keringat sehingga dapat mencegah pengapuran. Pembuluh darah balik di atas pangkal kaki tertakan sehingga darah akan memenuhi seluruh telapak kaki menyebabkan pembuluh darah di pangkal kaki mengembang. Gerakkan ini akan menjegah agar kaki optimal menopang tubuh kita.
8.DUDUK TASYAHHUD AKHIR (Keseimbangan Saraf dan Penyembuhan Wasir)
Posisi duduk ini lebih baik dari bersila. Dalam ilmu yoga kalau pergelangan kaki akan dipegang, lalu tekan diarea cekungan akan berguna untuk membongkar pengapuran dikaki kiri. Duduk ini membuat saraf keseimbangan yang berhubungan dengan saraf mata akan terjaga dengan baik.
9.SALAM (Terapi Penyakit Kepala)
Gerakan salam jika dilakukan secara maksimal, bermanfaat untuk menjaga kelenturan urat leher. Berkat kontraksi otot-otot di kepala dihasilkan energi panas dan zat-zat yang diperlukkan untuk rehabilitasi jaringan yang rusak. Salam kanan dan kiri secara maksimal, mencegah penyakit kepala dan tengkuk kaku.
BAHAN BACAAN
1.Tafsir Al Azhar Cairo
2.Tafsir Ibnu Katsir
3.Filsafat Hidup Cina Buku Iching
4.Keajaiban Sholat Lukman Hakim Saktiawan
5.Mukjizat Sholat Drs.Madyo Wratsongko MM

clip_image001Logged

Thursday, February 23, 2012

Laporan Lengkap Praktikum Biologi Faperta UNTAD 2011

Ini Adalah Laporan Praktikum Biologi Yang Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Matakuliah Biologi Umum, Oleh Edi Utomo Putra

Jika ingin mendownload dalam bentuk full PDF dapat di download disini

Masih Adakah Pemuda Yang Seperti Ini ?


Seorang pemuda yang sedang dalam satu perjalanan jauh, merasa amat letih. Ia pun berhenti sejenak di suatu perkampungan dan melepaskan kudanya untuk mencari makan. Kudanya sangat kelaparan. kuda yang kelaparan tersebut menuju suatu kawasan ladang dan memakan tanaman yang ada di situ. tak lama kemudian, petani pemilik ladang tersebut kembali. Melihat tanamannya habis dimakan oleh kuda tersebut, petani itu marah lalu kemudian ia membunuh kuda yang memakan tanamannya.

mendaki-gunungSaat pemuda tadi terbangun, ia mencari kudanya. Setelah sekian lama mencari kudanya, akhirnya ia menemukan kudanya telah menjadi bangkai di sebuah ladang. Melihat kejadian itu, ia pun menjadi marah dan mencari pembunuh kudanya. Kemudian ia menemukan pembunuh kudanya di sebuah rumah. Lama terjadi perselisihan antara keduanya, pada perselisihan tersebut akhirnya petani tadi terbunuh.

Peristiwa tersebut diketahui oleh penduduk perkampungan tersebut. Lalu pemuda itu dibawa untuk menemui khalifah untuk diadili. Mengikuti hukum gisas, membunuh dihukum dengan dibunuh. Khalifah memerintahkan agar ia dipenjarakan sehari semalam sebelum ia dipancung pada pukul 5.00 keesokan petangnya. Pemuda itu membujuk agar ia diijinkan pulang terlebih dahulu untuk berjumpa dengan ibunya untuk menyelesaikan suatu urusan yang amat penting. Khalifah tidak mengijinkannya. Namun pemuda tersebut tidak menyerah dan terus membujuk sang khalifah, ia menyatakan memiliki tanggung jawab yang harus ia selesaikan sebelum ia dihukum. Ia berjanji akan segera kembali setelah urusannya selesai.

Khalifah meminta meminta pendapat ahli waris dari petani yang terbunuh. Anak petani tersebut tidak mengijinkan pemuda tersebut pergi karena ia tidak yakin bahwa nantinya pemuda tersebut akan datang kembali. Berkali kali pemuda tersebut merayu namun tak ada yang simpati padanya. Akhirnya munculah orang tua menghadap khalifah dan menyatakan bahwa ia sanggup menjadi tebusan agar memperbolehkan pemuda tersebut kembali kerumanya.

Orang tua tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Abu Zar, seorang sahabat Nabi yang banyak mengetahui hadist. Melihat apa yang terjadi, semua hadirin tercengang dan sebagian besar memarahi Abu Zar karena tindakannya membahayakan dirinya sendiri. Abu Zar berjanji untuk menjadi tebusan dan mengizinkan pemuda itu pulang untuk menyelesaikan masalahnya. Melihat kejadian ini, pemuda tersebut menjadi tenang dan berjanji bahwa ia akan segera kembali untuk dipancung ketika urusannya telah selesai.

Abu Zar paham akan resiko yang akan terjadi dan bisa saja membuatnya terbunuh. Ketika ditanyai oleh Khalifah mengapa ia sanggup menjadikan dirinya sebagai tebusan, Abu Zar menerangkan ia sangat malu melihat tak ada satu orang pun yang sanggup memberi bantuan ketika seorang pemuda asing tersebut dalam kesusahan. Pemuda tersebut diizinkan pulang sementara Abu Zar dikurung dalam penjara. Keesokan Harinya istana ramai oleh masyarakat yang datang untuk melihat keadaan.

Masyarakat banyak yang beranggapan Abu Zar akan dibunuh karena kemungkina bersar pemuda tersebut tidak akan datang menyerahkan dirinya untuk dipancung. Saat yang mendebarkan itupun datang kaena tdk lama lagi jam 5 petang, pemuda tersebut belum juga datang. Abu Zar dikeluarkan dari penjara. Karena pemuda tersebut tdk dapat menepati janji akan membuat nyawa Abu Zar melayang. Di saat-saat terakhir, terlihat seorang pemuda mengendarai kuda dengan sangat cepat. Ketika itu masyarakatpun menjadi reda. Tepat yang dijanjikan oleh pemuda tersebut datang pada pukul lima. Pemuda tersebut kemudian menghadap Khalifah seraya meminta maaf karena terlambat sehingga menyebabkan suasana menjadi tegang. Pemuda tersebut menerangkan bahwa ia seharusnya datang lebih awal namun di tengah perjalanan tali kudanya putus. Ia pun menerangkan ia harus menyelesaikan urusannya dulu dan terpaksa melepaskan tanggung jawabnya sebagai pengurus anak yatim dan menyerahkan tugas tersebut kepada ibunya. Pemuda tersebut kemudian menemui Abu Zar untuk mengucapkan Terimakasih. Setelah itu ia segera menuju ke tempat hukuman akan dijatuhkan. Ketika pengawal hendak mengayunkan pedangnya, tiba-tiba anak petani berteriak agar hukumannya dihentikan, dan dengan ikhlas ia memaafkan kesalahan pemuda tersebut. Mendengar kata-kata anak petani itu, pemuda itupun lega dan sujud syukur kepada Allah

Cintanya Dibawa sampai di Padang Mahsyar

 

petikan kisah detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah SAW yang tertulis dalam buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, jilid III (KH. Moenawar Chalil), Detik-detik Terakhir Kehidupan Rasulullah SAW (KH Firdaus A.N), 30 Kisah Teladan, jilid 5 (KH Abdurrahman Arroisi), Durratun Nashihin (karya Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir), dan petikan ceramah Maulid Habib Mundzir Almusawa.
Ketika merasa bahwa ajalnya sudah dekat, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat di kediaman istri tercintanya, Sayyidah Aisyah RA. Setelah semua berkumpul, beliau memandangi mereka dengan tatapan mata yang sendu. Air mata beliau menetes tiada henti.
Di tengah tangisnya beliau bersabda, “Marhaban bikum, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian. Aku berwasiat kepada kalian, bertaqwalah kepada Allah SWT. Telah dekat perpisahan dan telah hampir waktu pulang kepada Allah Ta'ala. Hendaklah Ali memandikanku, sedangkan Fadlal bin Abbas dan Usamah bin Zaid yang menuangkan air. Kemudian kafanilah aku dengan kainku jika kamu menghendaki, atau dengan kain putih buatan Yaman. Jika kalian selesai memandikanku, letakkan jenazahku di tempat tidur di rumahku ini, diatas pinggir lubang kuburku. Kemudian bawalah aku keluar sesaat. Maka yang pertama kali bersholawat kepadaku adalah Allah „Azza wa Jalla, lalu Jibril, Mikail, Israfil, Izrail bersama pasukannya, kemudian segenap malaikat. Sesudah itu barulah kalian masuk rombongan demi rombongan, dan shalatkanlah aku.”
Begitu mendengar wasiat Nabi, para sahabat tak kuasa menahan tangis. Mereka menjerit…..”Ya Rasulullah, Tuan adalah rasul kami, penghimpun dan pembina kekuatan kami, serta penguasa segala urusan kami. Jika Tuan pergi, kepada siapakah kami kembali?”
Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan kalian di jalan yang terang. Aku tinggalkan untuk kalian dua juru nasihat yang berbicara dan yang diam. Penasehat yang berbicara ialah Al-Quran, penasihat diam ialah maut. Jika kalian menghadapi persoalan yang musykil, kembalilah kepada Al-Quran dan sunnah; dan jika hati kalian kusut, tuntunlah dengan mengambil I'tibar tentang peristiwa maut.”
Sejak itu, akhir bulan Shafar, Rasulullah SAW jatuh sakit. Semakin lama penyakitnya semakin berat. Suatu saat, ketika para sahabat berkumpul di kediaman Sayyidah Aisyah RA untuk menjaga Rasulullah SAW secara bergantian, Rasulullah SAW bangun dari tempat tidurnya dengan mengenakan ikat kepala, pertanda sakitnya masih berat.
Telaga Haudh
Didepan para sahabat, beliau bersabda, “Wahai para sahabatku….. Sungguh, demi Allah, saat ini telah kulihat Telaga Haudh di hadapanku. Demi Allah, aku tidak takut syirik akan menimpa kalian setelah aku wafat. Tetapi yang kutakutkan, kalian saling berebut dunia, saling hantam memperebutkan kekayaan. Itu yang aku takutkan.” Haudh adalah salah satu telaga di surga.
Dari hari ke hari, kesehatan Nabi semakin memburuk, dan para sahabat mulai cemas. Suatu hari, Senin Subuh, sahabat Bilal mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi. Tapi hingga beberapa waktu Nabi belum juga hadir. Ia lalu menyusul ke rumah beliau. Didepan pintu rumah, ia mengucapkan salam, “Assalamu’alaika, ya Rasulullah.”
Nabi tidak menjawab, tapi Sayyidah Fathimah RA keluar sambil menjawab salam, “Alaikassalam….. Kalau ada perlu lain kali saja. Rasulullah sedang demam.”
Mendengar jawaban itu, Bilal tidak paham. Ia lalu kembali ke masjid, menunggu kedatangan Nabi sampai langit disebelah timur mulai menguning. Karena waktu subuh hampir habis, Bilal kembali kerumah Rasulullah SAW.
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah…. para makmum sudah menunggu dan langit sudah pula menguning,” katanya.
Saat itu, Nabi agak sadar. Dengan tersendat-sendat beliau membalas salam Bilal, lantas bersabda, “Ya Bilal, aku tahu fajar telah mulai tiba. Beri tahu Abubakar supaya menjadi imam shalat Subuh. Aku sedang sakit, tidak mampu bangun.”
Mendengar jawaban itu Bilal menangis. Dengan langkah terburu-buru tetapi lunglai, ia bergegas kembali ke masjid. Disampaikannya pesan rasulullah SAW kepada Abubakar.
Begitu melihat mihrab kosong, Abubakar menangis. Di mihrab itulah Rasulullah SAW selalu memimpin sholat, mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran dengan suara yang nyaring dan fasih. Pribadinya agung, parasnya berwibawa. Kini mihrab itu kosong. Abubakar menangis juga seluruh sahabat, sehingga suasana subuh itu menjadi murung.
Sampai siang, para sahabat berkumpul di masjid menanti berita dari kediaman Rasulullah SAW. Ternyata, Rasululah SAW minta dipapah untuk menuju masjid. Dengan langkah terseok-seok, Nabi keluar rumah dipapah kedua sahabat itu.
Tiba di masjid, Nabi shalat sunnah dua rakaat lalu menuju mimbar. Kakinya terasa berat ketika mendaki tangga. Tubuhnya tampak lemah, tangannya bertelekan. Tak lama kemudian beliau menyampaikan khutbah singkat, namun isinya meresap dan menggetarkan hati. Para sahabat bercucuran air mata…..
“Wahai kaum muslimin, kita hidup di bawah kekuasaan Allah dan kasih sayang-Nya. Maka bertaqwalah kepada-Nya dan taatilah perintah-perintah-Nya”. Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW berwasiat, “Wahai segenap umat manusia, api neraka sudah dinyalakan, fitnah-fitnah telah datang seperti datangnya malam yang gelap. Demi Allah, kamu tidak akan berpegang kepadaku dengan suatu apa pun. Sesungguhnya aku tidak pernah menghalalkan sesuatu melainkan apa yang dihalalkan oleh Al-Quran, dan tidak pula mengharamkan sesuatu melainkan apa yang diharamkan oleh Al-Quran”.
Dipapah Pulang
Abubakar tersedu sedan sementara Umar bin Khattab menahan napas dan tangis hingga dadanya naik-turun. Sedangkan Utsman bin Affan menghela napas panjang, dan Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala dalam-dalam. Dalam hati semua sahabat berkata, “Rasulullah akan meninggalkan kita.”
Lelaki agung itu hampir selesai menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu semakin nyata, sehingga dengan tangkas Ali dan Fadhal segera tampil membantu Rasulullah turun dari mimbar. Sangat pelan karena lemah.
Segera setelah itu beliau dipapah untuk kembali pulang ke rumah kediaman. Sejak itu beliau tak mampu lagi bangkit dari tempat tidur. Kondisi beliau semakin gawat, sampai-sampai kain pengikat beliau pun terasa panas. Panas yang sangat tinggi menyebabkan beliau sering tak sadarkan diri.
Melihat kondisi ayahandanya, Sayyidah Fathimah RA terus menangis, “Ya Allah, alangkah berat penderitaan ayahku. Alangkah beratnya, ya Allah….”
Mendengar tangis putri kesayangannya itu, Rasulullah SAW sempat bersabda, “Bersabarlah anakku sayang. Tidak ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini…” Nabi SAW berusaha menghibur putrinya agar tidak bersedih hati. Namun sabda Beliau itu juga merupakan pertanda bahwa tinggal pada hari itu beliau merasakan penderitaan. Dan setelah itu, meninggalkan keluarga dan segenap kaum muslimin.
Tepat pada waktu dhuha, datanglah Malaikat Izrail yang diutus oleh Allah Ta'ala untuk menjemput Rasul SAW. Perintah Allah Ta'ala kepada Izrail, “Masuklah kalau diizinkan olehnya. Kalau tidak, kembalilah engkau kemari. Berangkatlah dan muncullah di hadapannya dalam wujud seorang lelaki yang sopan dan rapi. “Maka muncullah Malaikat Izrail sebagai seorang lelaki berpakaian putih-putih dengan aroma yang harum mewangi.
“Assalamualaikum, wahai penghuni rumah kenabian….”
“Wa’alaikumussalam. Maaf Rasulullah sedang payah. Datanglah lain kali,” jawab Sayyidah Fathimah RA.
“Assalamu'alaika, ya Rasulullah. Salam sejahtera untukmu selamanya. Bolehkah saya masuk?” ujar Izrail lagi.
Mendengar salam khusus itu, Nabi membuka mata beliau lalu bertanya kepada Fathimah, “Anakku, ada tamu ya? Siapa yang berada di pintu, hai Fathimah?”
“Seorang laki-laki yang bersih sopan, rapi, dan wangi. Ia memanggil-manggil ayah dan minta izin untuk masuk. Saya bilang, Ayah sedang payah. Saya minta dia dia untuk kembali lain kali.”
Tiba-tiba Nabi SAW memandangi putri tercintanya itu dengan tatapan yang menembus jauh, dengan cahaya pekat yang mengabut.
Sayyidah Fathimah RA menggigil karena hatinya tergetar
“Izinkan tamu itu masuk, Fathimah. Tahukah engkau siapa dia, anakku?” sabda Rasulullah SAW.
“Tidak”
“Dialah penjemput kenikmatan, pemutus nahsu syahwat, dan pemisah pertemuan. Dia adalah malakul maut.”
Sayyidah Fathimah RA kaget, “Ayahanda, jadi mulai hari ini aku tidak akan lagi mendengar suaramu dan memandangi wajah jernihmu?” Sayyidah Fathimah menangis.
Jangan bersedih dan menangis, jantung hatiku. Engkau adalah keluargaku yang mula-mula akan bersamaku di hari kiamat,” sabda Rasul SAW
Mendengar itu, barulah Sayyidah Fathimah RA lega.
“Engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?” Tanya Nabi.
“Aku datang untuk berziarah, juga menjemput Tuan jika Tuan mengizinkan. Tetapi kalau tidak aku akan kembali.”
“Engkau datang sendirian? Dimana engkau tinggalkan Jibril?” Tanya Nabi sambil tersenyum.
“Aku tinggalkan dia di langit kedua bersama para malaikat lainnya.”
“Panggil dia kemari.”
Jibril Tergagap Maka Malaikat JIbril pun turun ke bumi, menuju rumah kediaman Rasul, lalu duduk disebelah kepala Rasulullah SAW.
Beberapa saat Nabi memandangi Jibril, lalu dengan sayu beliau bersabda, “Jibril, mengapa berlambat-lambat? Tidakkah engkau tahu saat yang dijanjikan itu hampir tiba?”
“Beri tahu aku bagaimana hakku di hadapan Allah nanti.” sabda Nabi lagi.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat berbaris berlapis-lapis menunggu kehadiran ruh Tuan, seluruh gerbang surga terbuka sebagai persemayaman Tuan.”
Namun wajah Nabi tetap suram dan gelisah. Lalu sabdanya lagi, “Jibril, bukan berita itu yang kuinginkan. Beritahu aku, bagaimana umatku besok di hari kiamat.”
Maka dengan tenang Jibril menjawab, “Ya Rasulullah, Allah Ta'ala berfirman, „Aku haramkan surga dimasuki oleh para nabi sampai engkau, Muhammad, masuk terlebih dahulu. Dan aku haramkan umat para nabi masuk ke dalamnya sampai umatmu, Muhammad, masuk terlebih dahulu.”
Mendengar jawaban itu, barulah wajah Nabi berseri-seri. “Alhamdulillah. Kalau begitu hatiku tenang, wahai Jibril.” Beliau merasa tenteram, karena kaum muslimin mendapat hak dan tempat istimewa di hadapan Allah SWT. Bibir beliau yang sudah memucat itu menyunggingkan senyum. Senyum istimewa itu juga beliau tujukan kepada Malaikat Izrail ketika beliau mempersilakan sang Pencabut Nyawa itu melaksanakan tugasnya.
Pada waktu yang bersamaan suasana gundah gulana menggantung berat di ruangan sempit itu. Angin kota Madinah yang meniupkan hawa dingin tapi kering tambah dalam menusuk tulang. Sejengkal demi sejengkal matahari pun semakin meninggi ketika Malaikat Izrail berancang-ancang untuk mencabut nyawa Rasulullah SAW.
Penderitaan Nabi SAW semakin menghebat ketika nyawa beliau, yang dicabut oleh Izrail dengan sangat pelan dan lembut, sampai di pusat. Dahi dan sekujur wajah beliau bersimbah peluh. Urat-urat di wajah beliau menegang dari detik ke detik. Sambil menggigit bibir, Nabi SAW berpaling ke arah malaikat Jibril. Mata Rasulullah SAW pun basah, cahayanya pun semakin meredup. “Ya Jibril, betapa sakitnya! Oh, alangkah dahsyatnya derita sakaratul maut ini.”
Sayyidah Fathimah RA memejamkan mata, sementara Ali bin Abi Thalib, yang berada disamping Rasulullah SAW, menundukkan kepala, sedangkan
Malaikat Jibril memalingkan muka. “Ya Jibril, mengapa engkau berpaling? Apakah engkau benci melihat wajahku?” tanya Rasul SAW.
“Sama sekali tidak, ya Rasulullah. Siapakah yang tega menyaksikan Kekasih Allah dalam kedaaan seperti ini? Siapakah yang sampai hati melihat Tuan kesakitan?” jawab Jibril terbata-bata.
Rasa sakit itu kian memuncak. Sekujur tubuh Nabi menggigil. Wajah beliau semakin memucat, urat-uratnya menegang. Dalam keadaan sakit tak tertahankan itu beliau berdoa, “Ya Allah, alangkah sakitnya! Ya Allah, timpakanlah sakitnya maut ini hanya kepadaku, jangan kepada umatku.”
Ushikum Bishshalati
Mendengar sabda Rasul itu, Jibril tersentak. Betapa agung pribadi Rasulullah SAW. Dalam detik-detik paling gawat dan menyiksa, bukan kepentingan sendiri yang dimohonkan, melainkan kepentingan umatnya. Andai beliau mohon agar rasa sakit itu dicabut, pasti Allah SWT mengabulkannya. Namun beliau lebih memilih sebagai tumbal agar derita itu tidak menimpa umatnya.
Ketika Jibril menyadari keadaan di sekelilingnya, Izrail sudah dengan sangat santun menarik nyawa Nabi SAW sampai di dada. Maka napas beliau pun mulai menyesak. Rasa sakit semakin menghebat. Ketika itulah, lelaki agung itu menengok ke arah sahabat-sahabatnya, lalu bersabda dengan suara lirih dan pandangan sayu, “Ushikum bishshalati wa ma malakat aimanakum (Aku wasiatkan kepada kalian untuk mendirikan sholat, dan aku wasiatkan kepada kalian orang-orang yang menjadi tanggungan kalian).”
Sejenak kemudian, kondisi Rasulullah SAW bertambah kritis. Para sahabat saling berpelukan lantaran tak kuat menahan pilu. Dan ketika itulah tubuh Nabi SAW mulai dingin. Hampir seluruh bagian tubuh beliau tidak bergerak-gerak lagi. Mata beliau pun berkaca-kaca dan menatap lurus ke langit-langit hanya sedikit terbuka.
Menjelang akhir hayat beliau, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi SAW dua kali menggerak-gerakkan bibir beliau yang sudah membiru. Maka Ali pun cepat-cepat mendekatkan telinganya ke bibir Nabi. Ia mendengar Nabi SAW memanggil-manggil, “Ummati, ummati…. (Umatku, umatku…).” Dengan memanggil-manggil umatnya inilah, Rasul Akhir Zaman itu wafat di pangkuan istri tercinta, Sayyidah Aisyah RA, pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal 11 H, bertepatan dengan tanggal 3 Juni 632 Masehi, dalam usia 63 tahun.
Maka meledaklah tangis para sahabat. Sang kekasih Allah telah wafat, membawa cinta yang agung, cinta kepada umat, hingga akhir hayat. Bahkan dibawanya sampai Padang Mahsyar. Ketika nyawa sudah sampai tenggorokan. Pemimpin Besar dan Pencipta Peradaban itu bukan mengkhawatirkan keluarganya, melainkan memprihatinkan umatnya. “Ummati, ummati….”
Sesaat sebelum wafat, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, Rasulullah SAW masih sempat berwasiat dan menghibur umatnya.
Beliau bersabda, “Wahai umatku, kalian akan melihat hari yang tidak kalian sukai, yaitu perpecahan dan fitnah dari berbagai musibah yang akan datang. Akan tetapi hendaklah kalian bersabar sampai berjumpa denganku di Telaga Haudh kelak…”
Sementara itu, dari sumber kitab Shahih Bukhari diriwayatkan, pada Senin subuh itu Nabi SAW merasa kondisinya mulai membaik. Maka ketika mendengar adzan, beliau memutuskan untuk pergi ke masjid sekalipun kondisinya masih lemah. Ketika beliau masuk masjid, shalat sudah dimulai. Para sahabat pun menjerit, mengucapkan, “Sub-hanallah, sub-hanallah”, pertanda gembira dan bersyukur menyaksikan kondisi kesehatan junjungan mereka yang mulai membaik.
Begitu melihat Nabi datang, para sahabat hampir membatalkan shalat. Namun, beliau memberi isyarat agar mereka meneruskannya.
Abubakar Mundur
Sejenak beliau berdiri menatap mereka dengan bahagia. Wajahnya berseri-seri menyaksikan ketaatan umatnya. Sampai-sampai Annas bin Malik berkata, “Belum pernah aku melihat pandangan yang lebih menakjubkan dari wajah Nabi SAW (ketika itu).” Kemudian beliau tersenyum.
Abubakar Ash-Shiddiq, yang menjadi imam shalat, menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Yakni, pasti Rasulullah SAW ada di masjid. Maka tanpa menoleh, ia pun mundur. Tetapi, Nabi segera memegang pundaknya dan mendorongnya maju agar terus sebagai imam, sementara Nabi SAW shalat di sebelah kanan Abubakar dalam posisi duduk.
Usai shalat, Nabi kembali ke rumah Sayyidah Aisyah RA dipapah oleh Fadlal dan Tsawban, sementara Ali dan Abbas mengikuti dari belakang. Sampai di rumah, Nabi SAW kembali ke tempat tidur, berbaring di pangkuan istri tercintanya itu. Dan ternyata, shalat subuh tadi adalah yang terakhir kali Nabi SAW shalat berjamaah dengan para sahabatnya. Ketika itulah segenap kekuatan Nabi SAW melemah.
Saat Abdurrahman bin Abubakar masuk ke dalam kamar sambil membawa siwak (sikat gigi dari kayu arak), Sayyidah Aisyah RA melihat Nabi SAW sepertinya menginginkannya. Maka ia pun meminta siwak itu, membersihkannya, lalu memberikannya kepada ayahanda tercinta. Lalu beliau pun membersihkan gigi dengan cekatan, sekalipun kondisinya cukup lemah.
Tak lama kemudian kesadaran Rasulullah SAW hilang. Sayyidah Aisyah RA mengira beliau tengah menghadapi sakaratul maut. Tapi, sekitar satu jam kemudian, beliau membuka mata. Sayyidah Aisyah RA teringat Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun yang dicabut nyawanya sebelum ia ditunjukkan tempatnya di surga.” Sayyidah Aisyah RA pun paham, inilah saat sakaratul maut itu.
Sejenak kemudian, Nabi SAW bersabda dengan suara bergumam, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama orang-
orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Mereka itulah sahabat yang paling baik.” – QS An-Nisaa (4): 69. Setelah itu, beliau kembali bergumam, “Ya Allah, aku memilih bersama Yang Mahamulia.”
Setelah itu, kepala Nabi SAW berangsur-angsur terasa bertambah berat di pangkuan Sayyidah Aisyah RA, sehingga para istri yang lain menangis. Sayyidah Aisyah RA lalu membaringkan kepala beliau di bantal, kemudian menangis bersama istri Nabi SAW yang lain.
Dalam Shahih Bukhari dikisahkan, begitu mendengar Rasulullah SAW wafat, Abubakar Shiddiq berlari menuju rumah kediaman Sayyidah Aisyah RA. Namun jasad Nabi SAW telah membujur kaku. Ketika menyingkap kain yang menutup tubuh Nabi SAW, ia menangis sambil memeluk wajah Sang Rasul. Saat memandikan jenazah Rasulullah, Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, ketika hidup, Tuan semerbak mewangi. Ketika wafat pun, tubuh Tuan tetap wangi ya rasulullah.

Wednesday, February 22, 2012

Black Hole

Black Hole atau Lubang Hitam Black Hole adalah sebuah pemusatan massa yang cukup yang cukup besar sehingga menghasilkan gaya gravitasi yang sangat besar. Gaya gravitasi yang sangat besar ini mencegah apa pun lolos darinya kecuali melalui perilaku terowongan kuantum. Medan gravitasi begitu kuat sehingga kecepatan lepas di dekatnya mendekati kecepatan cahaya. Tak ada sesuatu, termasuk radiasi elektromagnetik yang dapat lolos dari gravitasinya, bahkan cahaya hanya dapat masuk tetapi tidak dapat keluar atau melewatinya, dari sini diperoleh kata "hitam". Istilah "lubang hitam" telah tersebar luas, meskipun ia tidak menunjuk ke sebuah lubang dalam arti biasa, tetapi merupakan sebuah wilayah di angkasa di mana semua tidak dapat kembali. Secara teoritis, lubang hitam dapat memliki ukuran apa pun, dari mikroskopik sampai ke ukuran alam raya yang dapat diamati.
History
Teori adanya lubang hitam pertama kali diajukan pada abad ke-18 oleh John Michell and Pierre-Simon Laplace, selanjutnya dikembangkan oleh astronom Jerman bernama Karl Schwarzschild, pada tahun 1916, dengan berdasar pada teori relativitas umum dari Albert Einstein, dan semakin dipopulerkan oleh Stephen William Hawking. Pada saat ini banyak astronom seperti charis yang percaya bahwa hampir semua galaksi dialam semesta ini mengelilingi lubang hitam pada pusat galaksi.
Adalah John Archibald Wheeler pada tahun 1967 yang memberikan nama "Lubang Hitam" sehingga menjadi populer di dunia bahkan juga menjadi topik favorit para penulis fiksi ilmiah. Kita tidak dapat melihat lubang hitam akan tetapi kita bisa mendeteksi materi yang tertarik / tersedot ke arahnya. Dengan cara inilah, para astronom mempelajari dan mengidentifikasikan banyak lubang hitam di angkasa lewat observasi yang sangat hati-hati sehingga diperkirakan di angkasa dihiasi oleh jutaan lubang hitam.
Asal Mula
Lubang Hitam tercipta ketika suatu obyek tidak dapat bertahan dari kekuatan tekanan gaya gravitasinya sendiri. Banyak obyek (termasuk matahari dan bumi) tidak akan pernah menjadi lubang hitam. Tekanan gravitasi pada matahari dan bumi tidak mencukupi untuk melampaui kekuatan atom dan nuklir dalam dirinya yang sifatnya melawan tekanan gravitasi. Ilustrasi Black HoleTetapi sebaliknya untuk obyek yang bermassa sangat besar, tekanan gravitasi-lah yang menang.

Massa dari lubang hitam terus bertambah dengan cara menangkap semua materi didekatnya. Semua materi tidak bisa lari dari jeratan lubang hitam jika melintas terlalu dekat. Jadi obyek yang tidak bisa menjaga jarak yang aman dari lubang hitam akan terhisap. Berlainan dengan reputasi yang disandangnya saat ini yang menyatakan bahwa lubang hitam dapat menghisap apa saja disekitarnya, lubang hitam tidak dapat menghisap material yang jaraknya sangat jauh dari dirinya. dia hanya bisa menarik materi yang lewat sangat dekat dengannya. Contoh : bayangkan matahari kita menjadi lubang hitam dengan massa yang sama. Kegelapan akan menyelimuti bumi dikarenakan tidak ada pancaran cahaya dari lubang hitam, tetapi bumi akan tetap mengelilingi lubang hitam itu dengan jarak dan kecepatan yang sama dengan saat ini dan tidak terhisap masuk kedalamnya. Bahaya akan mengancam hanya jika bumi kita berjarak 10 mil dari lubang hitam, hal ini masih jauh dari kenyataan bahwa bumi berjarak 93 juta mil dari matahari. Lubang hitam juga dapat bertambah massanya dengan cara bertubrukan dengan lubang hitam yang lain sehingga menjadi satu lubang hitam yang lebih besar.

Monday, February 13, 2012

Hukum Merayakan Hari Valentine buat Umat Islam

Boleh jadi tanggal 14 Pebruari setiap tahunnya merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak remaja, baik di negeri ini maupun di berbagai belahan bumi. Sebab hari itu banyak dipercaya orang sebagai hari untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Itulah hari valentine, sebuah hari di mana orang-orang di barat sana menjadikannya sebagai fokus untuk mengungkapkan rasa kasih sayang.
Dan seiring dengan masuknya beragam gaya hidup barat ke dunia Islam, perayaan hari valentine pun ikut mendapatkan sambutan hangat, terutama dari kalangan remaja ABG. Bertukar bingkisan valentine, semarak warna pink, ucapan rasa kasih sayang, ungkapan cinta dengan berbagai ekspresinya, menyemarakkan suasan valentine setiap tahunnya, bahkan di kalangan remaja muslim sekali pun.
Perayaan Valentine’s Say adalah Bagian dari Syiar Agama Nasrani
Valentine’s Day menurut literatur ilmiyah yang kita dapat menunjukkan bahwa perayaan itu bagian dari simbol agama Nasrani.
Bahkan kalau mau dirunut ke belakang, sejarahnya berasal ari upacara ritual agama Romawi kuno. Adalah Paus Gelasius I pada tahun 496 yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani, sehingga sejak itu secara resmi agama Nasrani memiliki hari raya baru yang bernama Valentine’s Day.
The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan sebagai berikut: “Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari .
Keterangan seperti ini bukan keterangan yang mengada-ada, sebab rujukannya bersumber dari kalangan barat sendiri. Dan keterangan ini menjelaskan kepada kita, bahwa perayaan hari valentine itu berasal dari ritual agama Nasrani secara resmi. Dan sumber utamanya berasal dari ritual Romawi kuno. Sementara di dalam tatanan aqidah Islam, seorang muslim diharamkan ikut merayakan hari besar pemeluk agama lain, baik agama Nasrani ataupun agama paganis dari Romawi kuno.
Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.
Kalau dibanding dengan perayaan natal, sebenarnya nyaris tidak ada bedanya. Natal dan Valentine sama-sama sebuah ritual agama milik umat Kristiani. Sehingga seharusnya pihak MUI pun mengharamkan perayaan Valentine ini sebagaimana haramnya pelaksanaan Natal bersama. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haramnya umat Islam ikut menghadiri perayaan Natal masih jelas dan tetap berlaku hingga kini. Maka seharusnya juga ada fatwa yang mengharamkan perayaan valentine khusus buat umat Islam.
Mengingat bahwa masalah ini bukan semata-mata budaya, melainkan terkait dengan masalah aqidah, di mana umat Islam diharamkan merayakan ritual agama dan hari besar agama lain.
Valentine Berasal dari Budaya Syirik.
Ken Swiger dalam artikelnya “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan, “Kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti, “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa”. Kata ini ditunjukan kepada Nimroe dan Lupercus, tuhan orang Romawi”.
Disadari atau tidak ketika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Icon si “Cupid ” itu adalah putra Nimrod “the hunter” dewa matahari.
Disebut tuhan cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri. Islam mengharamkan segala hal yang berbau syirik, seperti kepercayaan adanya dewa dan dewi. Dewa cinta yang sering disebut-sebut sebagai dewa Amor, adalah cerminan aqidah syirik yang di dalam Islam harus ditinggalkan jauh-jauh. Padahal atribut dan aksesoris hari valentine sulit dilepaskan dari urusan dewa cinta ini.
Walhasil, semangat Valentine ini tidak lain adalah semangat yang bertabur dengan simbol-simbol syirik yang hanya akan membawa pelakunya masuk neraka,
naudzu billahi min zalik.
Semangat valentine adalah Semangat Berzina
Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.
Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, petting bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan nafsu libido biasa.
Bahkan tidak sedikit para orang tua yang merelakan dan memaklumi putera-puteri mereka saling melampiaskan nafsu biologis dengan teman lawan jenis mereka, hanya semata-mata karena beranggapan bahwa hari Valentine itu adalah hari khusus untuk mengungkapkan kasih sayang.
Padahal kasih sayang yang dimaksud adalah zina yang diharamkan. Orang barat memang tidak bisa membedakan antara cinta dan zina. Ungkapan make love yang artinya bercinta, seharusnya sedekar cinta yang terkait dengan perasan dan hati, tetapi setiap kita tahu bahwa makna make love atau bercinta adalah melakukan hubungan kelamin alias zina. Istilah dalam bahasa Indonesia pun mengalami distorsi parah.
Misalnya, istilah penjaja cinta. Bukankah penjaja cinta tidak lain adalah kata lain dari pelacur atau menjaja kenikmatan seks?
Di dalam syair lagu romantis barat yang juga melanda begitu banyak lagu pop di negeri ini, ungkapan make love ini bertaburan di sana sini. Buat orang barat, berzina memang salah satu bentuk pengungkapan rasa kasih sayang. Bahkan berzina di sana merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang.
Bahkan para orang tua pun tidak punya hak untuk menghalangi anak-anak mereka dari berzina dengan teman-temannya. Di barat, zina dilakukan oleh siapa saja, tidak selalu Allah SWT berfirman tentang zina, bahwa perbuatan itu bukan hanya dilarang, bahkan sekedar mendekatinya pun diharamkan.
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

DOSA YANG LEBIH BESAR DARI BERZINA

Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung. Pakaianya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam dukacita yang mencekam. Kerudungnya menagkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa hias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah merosakkan hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa a.s. Diketuknya pintu pelan-pelan sambil mengucapkan uluk salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam “Silakan masuk”.
Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala ia berkata, “Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya. Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya.” “Apakah dosamu wahai wanita ayu?” tanya Nabi Musa a.s. terkejut. “Saya takut mengatakannya.”jawab wanita cantik. “Katakanlah jangan ragu-ragu!” desak Nabi Musa. Maka perempuan itupun terpatah bercerita, “Saya… telah berzina.
Kepala Nabi Musa terangkat, hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan, “Dari perzinaan itu saya pun… lantas hamil. Setelah anak itu lahir, langsung saya… cekik lehernya sampai… tewas,” ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya. Nabi Musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia mengherdik, “Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!”… teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik. Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut.
Dia terantuk-hantuk keluar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan. Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya.
Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa. Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, “Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertaubat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?” Nabi Musa terperanjat. “Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?” Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril. “Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada perempuan yang nista itu?” “Ada!” jawab Jibril dengan tegas. “Dosa apakah itu?” tanya Musa kian penasaran. ”Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina” Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut.
Nabi Musa menyadari, orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sholat itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya. Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya.
(Dikutip dari buku 30 kisah teladan – KH Abdurrahman Arroisy)
Dalam hadis Nabi S.A.W disebutkan : Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur’an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh dengan ibunya di dalam Ka’bah.
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakherat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.
Mari merenung sejenak bagaimana dengan ibadah shalat kita sampai detik ini, pantaskah kita mengaku seorang muslim? Dari kisah Nabi Musa dan wanita pezina dan dua hadis Nabi sebelumnya, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kita dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban sholat dengan istiqomah.

Sunday, February 12, 2012

Tanda-Tanda Ikhlas

Fit-Thariq Ilallah: An-Niyyah wal-Ikhlas, Dari. Yusuf al-Qaradhawi
Ikhlas itu mempunyai bukti penguat dan tanda-tanda yang banyak sekali, contohnya dalam kehidupan orang yang mukhlis; dalam tindak-tanduknya, dalam pandangan terhadap dirinya dan juga orang lain. Di antaranya adalah:

Pertama: Takut Kemasyhuran

Takut kemasyhuran dan menyebarnya kemasyhuran ke atas dirinya, lebih-lebih lagi jika dia termasuk orang yang mempunyai pangkat tertentu. Dia perlu yakin bahawa penerimaan amal di sisi Allah hanya dengan  cara sembunyi-sembunyi, tidak secara terang-terangan dan diungkapkan. Sebab apabila kemasyhuran seseorang memenuhi seluruh angkasa, lalu ada niat tidak baik yang masuk ke dalam dirinya, maka sedikit pun manusia tidak memerlukan kemasyhuran itu di sisi Allah.
Maka dari itu zuhud dalam masalah kedudukan, kemasyhuran, penampilan dan hal-hal yang serba gemerlap lebih besar darip zuhud dalam masalah harta, syahwat perut dan kemaluan. Al-Imam Ibn Syihab az-Zuhri berkata: “Kami tidak melihat zuhud dalam hal tertentu yang lebih sedikit darip zuhud dalam kedudukan. Engkau melihat seseorang berzuhud dalam masalah makanan, minuman dan harta. Namun jika kami membahagi-bahagikan kedudukan, tentu mereka akan berebut dan meminta lebih banyak lagi.”
Inilah yang membuat para ulama salaf dan orang-orang shaleh antara mereka mengkhuatirkan dan menyangsikan hatinya dari ujian kemasyhuran, penipuan dan kedudukan. Oleh kerana itu mereka memperingatkan hal ini kepada murid-muridnya. Para pengarang buku telah meriwayatkan dalam pelbagai gambaran tentang tingkah laku ini, seperti Abu Qasim a-Qusyairi dalam ar-Risalah, Abu Thalib al-Makky dalam Qutul-Qulub, dan al-Ghazali di dalam al-Ihya’.
Begitu pula yang dikatakan seorang zuhud yang terkenal, Ibrahim bin Adham, “Allah tidak membenarkan orang yang suka kemasyhuran.”
Beliau juga berkata, “Tidak sehari pun aku berasa gembira di dunia kecuali hanya sekali. Pada suatu malam aku berada di dalam masjid salah satu desa di Syam, dan ketika itu aku sedang sakit perut. Lalu muazzin datang dan menyeret kakiku hingga keluar dari masjid.”
Beliau berasa senang kerana muazzin tersebut tidak mengenalinya. Maka dari itu beliau diperlakukan secara kasar, kakinya diseret seperti seorang pesakit. Beliau meninggalkan kedudukan dan kekayaannya kerana Allah. Sebenarnya ketika itu beliau tidak ingin keluar jika tidak sakit.
Seorang zuhud yang terkenal, Bisyr al-Hafy berkata, “Saya tidak mengenal orang yang suka kemasyhuran melainkan agama menjadi sirna dan dia menjadi hina.”
Beliau juga berkata, “Tidak akan merasakan manisnya kehidupan akhirat orang yang suka terkenal di tengah manusia.”
Seseorang pernah menyertai perjalanan Ibn Muhairiz. Ketika hendak berpisah, orang itu berkata, “Berilah aku nasihat.”
Ibn Muhairiz berkata, “Jika boleh hendaklah engkau mengenal tetapi tidak dikenal, berjalanlah sendiri dan jangan mau diikuti, bertanyalah dan jangan ditanya. Lakukanlah hal ini.”
Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Seseorang tidak berniat secara benar kerana Allah kecuali jika dia suka tidak merasakan kedudukannya.”
Khalid bin Mi’dan adalah seorang ahli ibadah yang dipercayai. Jika semakin ramai orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya, maka beliau pun beranjak pergi karena takut dirinya menjadi terkenal.
Salim bin Handzalah menceritakan, “Ketika kami berjalan secara beramai-ramai di blkg Ubay bin Ka’ab, tiba-tiba Umar melihatnya lalu melemparkan susu ke arahnya.”
Ubay bin Ka’ab lalu bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin, apakah yang telah engkau lakukan?”
Jawab Umar, “Sesungguhnya kejadian ini merupakan kehinaan bagi yang mengikuti dan ujian bagi yang diikuti.”
Ini merupakan perhatian Umar bin al-Khattab secara psikologi terhadap fenomena yang pada permulaannya boleh menimbulkan kesan dan pengaruh yang jauh terhadap kejiwaan orang-orang yang mengikuti dan sekaligus orang yang diikuti.
Diriwayatkan dari al-Hasan, beliau berkata, “Pada suatu hari Ibn Mas’ud keluar dari rumahnya, lalu diikuti beberapa orang. Maka beliau berpaling ke arah mereka dan berkata: “Ada apa kamu mengikutiku? Demi Allah, andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tidak akan dapat mengikutiku.”
Pada suatu hari al-Hasan keluar rumah lalu diikuti beberapa orang. Beliau bertanya, “Apakah kamu ada keperluan kepadaku? Jika tidak, mengapa kejadian seperti ini masih tersemat dalam hati orang Mu’min?”
Ayyub as-Sakhtiyani melakukan suatu perjalanan, lalu ada beberapa orang yang mengalu-alukan kedatangannya. Beliau berkata, “Andaikata tidak kerana aku tahu bahawa Allah mengetahi isi hatiku tentang ketidaksukaan aku terhadap hal ini, tentu aku takut kebencian dari Allah.”
Ibn Mas’ud berkata, “Jadilah kamu sbagi sumber ilmu, pelita petunjuk, penerang rumah, obor pada waktu malam dan pembaharu hati yang diketahui penduduk langit, namun tidak dikenal penduduk bumi.”
Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Jika engkau sanggup untuk tidak dikenal, maka lakukanlah. Apa sukarnya engkau tidak dikenal? Apa sukarnya engkau tidak disanjung-sanjung? Tidak mengapalah engkau tercela di hadapan manusia selagi engkau terpuji di sisi Allah.
Athar-athar ini tidak mengajak kepada pengasingan atau uzlah. Orang-orang yang menjadi sumber riwayat ini adalah para imam dan da’i. Mereka memiliki pengaruh yang amat baik dalam menyeru masyarakat, mengarahkan dan memperbaiki keadaan manusia. Tetapi yang dpt difahami dari sejumlah penyataan mereka adalah kebangkitan dari naluri jiwa yang tersembunyi, kewaspadaan terhadap tipudaya yang disusupkan syaitan ke dalam hati manusia, jika hati mereka dicampuri hal-hal yang serba gemerlap dan dikelilingi orang-orang yang mengikutinya.
Kemasyhuran itu sendiri bukanlah suatu yang tercela. Tiada yang lebih masyhur darip para Anbia’, al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan imam-imam mujtahidin. Tetapi yang tercela adalah mencari kemasyhuran, takhta dan kedudukan, serta sgt bercita-cita mendapatkannya. Kemasyhuran tanpa cita-cita ini tidaklah menjadi masalah, sekali pun ia ttp menjadi ujian bagi orang-orang yang lemah, seperti yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali.
Sejajar dgn pengertian ini yang telah disebuntukan dalam hadith Abu Dzar darip Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahawa Baginda pernah ditanya tentang seorang lelaki yang melakukan suatu amal kebajikan kerana Allah, lalu orang ramai menyanjungnya.
Maka Baginda menjawab, “Itu kurnia yang didahulukan, sekaligus kabar gembira bagi orang Mu’min.” (HR Imam Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)
Ada pula lafaz lain, “Seseorang melakukan amal kerana Allah lalu orang-orang pun menyukainya..”
Pengertian seperti inilah yang ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibn Jarir at-Thabary dan alin-lainnya.
Begitu pula hadith yang ditakhrij Imam at-Tirmidzi dan Ibn Majah, dari hadith Abu Hurairah, bahawa ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang melakukan suatu amal dan dia pun senang melakukannya. Setiap kali dia melakukannya kembali, maka dia pun berasa takjub kepadanya.”
Baginda bersabda, “Dia mempunyai dua pahala, pahala kerana merahsiakan dan pahala memperlihatkan.”

Kedua: Menuduh Diri Sendiri

Orang yang mukhlis sentiasa menuduh diri sendiri sbagi orang yang berlebih-lebihan di sisi Allah dan krg dalam melaksanakan pelbagai kewajipan, tidak mampu menguasai hatinya kerana terpedaya oleh suatu amal dan takjub pada dirinya sendiri. Malahan dia sentiasa takut apabila keburukan-keburukannya tidak diampunkan dan takut kebaikan-kebaikannya tidak diterima.
Kerana sikap seperti ini, ada sebahagian di antara para salaf yang menangis tersedu-sedu ketika jatuh sakit. Beberapa orang yang menziarahinya bertanya, “Mengapa engkau masih menangis, padahal engkau suka berpuasa, mendirikan solat malam, berjihad, mengeluarkan sedekah, haji umrah, mengajarkan ilmu dan banyak berzikir?”
Beliau menjawab, “Apa yang membuatkanku tahu bahawa hanya sedikit dari amal-amalku yang masuk dalam timbanganku dan juga diterima di sisi Rabb-ku? Sementara Allah telah berfirman, Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertaqwa,”
Satu-satunya sumber taqwa adalah hati. Maka dari itu al-Quran menambahinya dgn firman Allah yang bermaksud: “Maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati..” (al-Hajj: 32)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Taqwa itu ada di sini,” Baginda mengulanginya tiga kali dan menunjuk ke arah dadanya. (HR Imam Muslim)
Sayyidah Aishah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang orang-orang yang dinyatakan dalam firman Allah bermaksud: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dgn hati yang takut, (kerana mereka tahu bahawa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (al-Mu’minun: 60)
“Apakah mereka orang-orang yang mencuri, berzina, meminum khamar dan mereka takut kepada Allah?”
Baginda menjawab, “Bukan wahai puteri as-Shiddiq. Tetapi mereka adalah orang-orang yang mendirikan solat, berpuasa, mengeluarkan sedekah, dan mereka takut amalnya tidak diterima. Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehinya.” (HR Imam Ahmad dan lain-lainnya)
Orang yang mukhlis sentiasa takut terhadap riya’ yang menyusup ke dalam dirinya, sedang dia tidak menyedarinya. Inilah yang disebut syahwah khafiyyah yang menyusup ke dalam diri orang yang meniti jalan kepada Allah tanpa disedarinya.
Dalam hal ini Ibn ‘Atha’illah memperingatkan, “Kepentingan peribadi dalam kederhakaan amat jelas dan terang. Sdgkan kepentingan peribadi di dalam ketaatan tersamar dan tersembunyi. Padahal menyembuhkan apa yang tidak nampak itu amat sukar. Boleh jadi ada riya’ yang masuk ke dalam dirimu dan orang lain juga tidak melihatnya. Tetapi kebanggaanmu bila orang lain melihat kelebihanmu merupakan budi ketidakjujuranmu dalam beribadah. Maka kosongkanlah pandangan orang lain terhadap dirimu. Cukup bagimu pandangan Allah terhadap dirimu. Tidak perlu bagimu tampil di hadapan mereka agar engkau terlihat di mata mereka.”

Ketiga: Beramal Secara Diam-Diam, Jauh Dari Liputan

Amal yang dilakukan secara diam-diam harus lebih disukai darip amal yang disertai liputan dan didedahkan. Dia lebih suka memilih menjadi perajurit bayangan yang rela berkorban, namun tidak diketahui dan tidak dikenali. Dia lebih suka memilih menjadi bahagian dari suatu jamaah, ibarat akar pohon yang menjadi penyokong dan saluran kehidupannya, tetapi tidak terlihat oleh mata, tersembunyi di dalam tanah; atau seperti asas bangunan. Tanpa asas, dinding tidak akan berdiri, atap tidak akan dpt dijadikan berteduh dan bangunan tidak dpt ditegakkan. Tetapi ia tidak terlihat, seperti dinding yang terlihat jelas. Syauqy berkata di dalam syairnya:
Landasan yang tersembunyi
Tidak terlihat mata kerana merendah
Bangunan yang menjulang tinggi
Di atasnya dibangun megah
Di bahagian sebelum ini telah dikemukakan hadith Mu’adz, “Sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yang berbuat kebaikan, bertaqwa dan menyembunyikan amalnya, Yaitu jika tidak hadir mereka tidak diketahui. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dari setiap tempat yang gelap.”

Keempat: Tidak Memerlukan Pujian Dan Tidak Tenggelam Oleh Pujian

Tidak meminta pujian orang-orang yang suka memuji dan tidak bercita-cita mendapatkannya. Jika ada seseorang memujinya, maka dia tidak terkecoh tentang hakikat dirinya di hadapan orang yang memujinya, kerana memang dia lebih mengetahui tentang rahsia hati dan dirinya darip orang lain yang boleh tertipu penampilan dan tidak mengetahui batinnya.
Ibn ‘Atha’illah berkata, “Orang-orang memujimu dari persangkaan mereka tentang dirimu. Maka adalah engkau orang yang mencela dirimu sendiri kerana apa yang engkau ketahui pada dirimu. Orang yang paling bodoh adalah yang meninggalkan keyakinannya tentang dirinya karena ada persangkaan orang-orang tentang dirinya.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anh, bahawa jika dipuji orang lain maka beliau berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang mereka katakan. Berikanlah kebaikan kepadaku dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anh berkata kepada orang-orang yang mengekori dan mengerumuninya, “Andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tidak akan dpt mengikutiku.” Padahal beliau adalah sahabat yang menonjol, pemuka petunjuk dan pelita Islam.
Sekumpulan orang memuji seorang Rabbani. Lalu dia mengadu kepada Allah sambil berkata, “Ya Allah, mereka tidak mengenalku dan hanya Engkaulah yang mengetahui siapa diriku.”
Salah seorang yang shaleh bermunajat kepada Allah, kerana sebahagian orang ada yang memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan dan kemuliaan akhlaknya:
Mereka berbaik sangka kepadaku
Padahal hakikatnya tidaklah begitu
Tetapi aku adalah orang yang zalim
Sbagimana yang Engkau sedia maklum
Kau sembunyikan semua aib yang ada
Dari pandangan mata mereka
Kau kenakan pakaian menawan
Sbagi tabir tutupan
Jadilah mereka meyintai
Padahal aku tidak layak dicintai
Tapi hanyalah diserupai
Janganlah Engkau hinakan aku
Pada Hari Qiamat di tengah mereka
Jadikanlah aku yang mulia
Termasuk yang hina dina
Penyair yang shaleh ini mengisyaratkan makna yang lembut dan sgt penting, iaitu keindahan tabir yang diberikan Allah kepada hamba-hambaNya. Brp banyak cela yang tersembunyi, dan Allah menutupinya dari pandangan orang ramai. Andaikata Allah membuka tabir itu dari pandangan mereka, tentu kelemahannya akan terserlah dan kedudukannya akan jatuh. Tetapi kurnia Allah enggan untuk menyingkap tabir kelemahan hamba-hambaNya, sbagi kurnia dan kemuliaan baginya.
Seerti dgn ini telah dikatakan oleh Ibn ‘Atha’illah, “barang siapa yang memuliakanmu, sebnenarnya dia telah memuliakan keindahan tabir pada dirimu. Keutamaan ada pada diri orang yang memuliakanmu dan menutupi aibmu, bukan pada diri orang yang menyanjungmu dan berterima kasih kepadamu.”
Abu al-Atahiyah berkata dalam syairnya:
Allah telah berbuat baik kepada kita
Kerana kesalahan tidak menyebar ke mana-mana
Apa yang tersembunyi pada diri kita
Tentu tersingkap di sisiNya

Kelima: Tidak Kikir Pujian Terhadap Orang Yang Memang Layak Dipuji

Tidak kikir memberikan pujian kepada orang lain yang memang layak dipuji dan menyanjung orang yang mmg layak disanjung. Di sana ada dua bencana yang bakal muncul: Pertama, memberikan pujian dan sanjungan kepada orang yang tidak berhak. Kedua, kedekut memberikan pujian kepada orang yang layak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memuji sekumpulan para sahabatnya, menyebut-nyebut keutamaan dan kelebihan mereka, seperti sabda Baginda tentang Abu Bakar yang bermaksud: “Apabila aku boleh mengambil seorang kekasih selain Rabb-ku, nescaya aku mengambil Abu Bakar sbagi kekasihku. Tetapi dia adalah saudara dan sahabatku.”
Sabda Baginda kepada Umar: “Andaikata engkau melalui suatu jalan, tentu syaitan akan melalui jalan yang lain.”
Sabda Baginda kepada Uthman: “Sesungguhnya beliau adalah orang yang para malaikat pun berasa malu terhadap dirinya.”
Sabda Rasulullah terhadap Ali: “Di mataku engkau seperti kedudukan Harun di mata Musa.”
Sabda Rasulullah terhadap Khalid bin al-Walid: “Beliau adalah salah satu darip pedang-pedang Allah.”
Sabda Rasulullah terhadap Abu Ubaidah: “Beliau adalah kepercayaan umat ini.”
Masih ramai sahabat yang dipuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena kelebihan dan keistimewaan mereka. Di antara mereka ada dari kalangan pemuda, seperti Usamah bin Zaid yang diangkat menjadi komandan pasukan perang, padahal dalam pasukan tersebut terdapat para pemuka sahabat. Baginda mengangkat Itab bin Usaid sbagi pegawai di Makkah, padahal umurnya masih dua puluh tahun. Mu’adz bin Jabal dikirim ke Yaman, padahal beliau masih muda. Sebahagian di antara mereka lebih diutamakan dari orang-orang yang lebih terdahulu memeluk Islam, karesna kelebihan dirinya, seperti Khalid bin al-Walid dan Amr bin al-Ash.
Boleh jadi seseorang tidak mau memberikan pujian kepada orang yang layak dipuji, kerana ada maksud tertentu dalam dirinya, atau kerana rasa iri hati yang disembunyikan, seperti takut campurtangan di pejabatnya, atau menyaingi kedudukannya. Kerana dia juga tidak mampu untuk melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya dia hanya berdiam diri dan tidak perlu menyanjungnya.
Kita melihat bagaimana Umar bin al-Khattab yang meminta pendapat Ibn Abbas dalam pelbagai urusan, padahal Ibn Abbas masih sgt muda. Maka para pemuka sahabat berkata kepadanya, “Bicaralah wahai Ibn Abbas. Kerana usia yang muda tidak menghalangimu untuk berbicara.”

Keenam: Berbuat Selayaknya Dalam Memimpin

Orang yang mukhlis kerana Allah akan berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin di barisan terhadapan dan tetap patriotik ketika berada paling belakang, selagi dalam dua keadaan ini dia mencari keredhaan Allah. Hatinya tidak dikuasai kesenangan untuk tampil, menguasai barisan dan menduduki jabatan strategi dalam kepimpinan. Tetapi dia lebih mementingkan kemashlahatan bersama kerana takut ada kewajipan dan tuntutan kepimpinan yang dia lewatkan.
Apa pun keadaannya dia tidak bercita-cita dan tidak menuntut kedudukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Tetapi jika dia dibebankan tugas sbagi pemimpin, maka dia melaksanakannya dan memohon pertolongan kepada Allah agar dia mampu melaksanakannya dengan baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mensifatkan kelompok orang seperti ini dalam sabda Baginda yang bermaksud:
Keuntungan bagi hamba yang mengambil tali kendali kudanya fi sabilillah, yang kusut kepalanya dan yang kotor kedua telapak kakinya. Jika kuda itu berada di barisan blkg, maka dia pun berada di kedudukan penjagaan.” (HR Imam Bukhari)
Allah meredhai Khalid bin al-Walid yang diberhentikan sbagi komandan pasukan, sekali pun beliau seorang komandan yang sentiasa mendapat kemenangan. Stelah itu beliau pun menjadi orang bawahan Abu Ubaidah tanpa rasa rendah diri. Dalam kedudukan seperti itu pun beliau tetap ikhlas memberikan pertolongan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan seandainya ada seseorang yang meminta jawatan dan sengaja untuk mendapatkannya. Telah disebuntukan di dalam as-Shahih, bahawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah:
“Janganlah engkau memimta jawatan pemimpin. Kerana jika engkau memperoleh jawatan itu tanpa meminta maka engkau akan mendapat sokongan, dan jika engkau memintanya, maka semua tanggungjawab akan dibebankan kepadamu.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Ketujuh: Mencari Keridhaan Allah, Bukan Keridhaan Manusia

Tidak memperdulikan kiredhaan manusia jika di sebalik itu ada kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab setiap orang di antara satu sama lain saling berbeza dalam sikap, rasa, pemikiran, kecenderungan, tujuan dan jalan yang ditempuh. Berusaha membuat mereka redha adalah suatu yang tidak bertepi, tujuan yang sulit diketahui dan tuntutan yang tidak terkabul. Dalam hal ini seorang penyair berkata:
Adakalanya seseorang
Membuat redha sekian ramai orang
Kini betapa jauh jarak yang membentang
Di tengah tuntutan-tuntutan hawa nafsu
Penyair lain berkata:
Jika aku meredhai orang-orang yang mulia
Tentunya aku memurkai orang-orang yang hina
Orang yang mukhlis tidak terlalu peduli dgn semua ini, kerana syiarnya hanya bersama Allah. Dikatakan dalam satu syair:
Boleh jadi engkau mengasingkan diri
Tetapi hidup ttp terasa pahit di hati
Boleh jadi engkau redha
Padahal orang lain murka
Engkau membangun dan orang lain merobohkan
Antara diriku dan alam ada kerosakan
Jika di hatimu ada cinta semua itu tiada daya
Apa yang ada di atas tanah
Tetapi menjadi tanah

Kelapan: Menjadikan Keridhaan Dan Kemarahan Kerana Allah, Bukan Kerana Kepentingan Peribadi

Kecintaan dan kemarahan, pemberian dan penahanan, keredhaan dan kemurkaan harus dilakukan kerana Allah dan agamaNya, bukan kerana pertimbangan peribadi dan kepentingannya, tidak seperti orang-orang munafik opportunis yang dicela Allah dalam KitabNya:
Dan di antara mereka ada yang mencela mu tentang (pembahagian) zakat. Jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dgn serta merta mereka menjadi marah.” (at-Taubah: 58)
Boleh jadi engkau pernah melihat orang-orang yang aktif dalam lapangan dakwah, apabila ada salah seorang rakannya melontarkan perkataan yang mengganggu atau melukai perasaannnya, atau ada tindakan yang menyakiti dirinya, maka secepat itu pula dia marah dan meradang, lalu meninggalkan harakah dan aktivitinya, meninggalkan medan jihad dan dakwah.
Ikhlas untuk mencapai tujuan menuntutnya untuk cekal dalam berdakwah dan gerak langkahnya, sekali pun orang lain menyalahkan, meremehkan dan bertindak melampaui batas terhadap dirinya. Sebab dia berbuat kerana Allah, bukan kerana kepentingan peribadi atau atas nama keluarga, serta bukan kerana kepentingan orang tertentu.
Dakwah kepada Allah bukan seperti harta yang ditimbun atau harta milik seseorang. Tetapi dakwah merupakan milik semua orang. Siapa pun orang Mu’min tidak boleh menarik diri dari medan dakwah ini hanya kerana sikap atau tindakan tertentu yang mempengaruhi dirinya.

Kesembilan: Sabar Sepanjang Jalan

Perjalanan yang panjang, lambatnya hasil yang diperoleh, kejayaan yang tertunda, kesulitan dalam bergaul dengan pelbagai lapisan manusia dengan perbedaan perasaan dan kecenderungan mereka, tidak boleh membuatnya menjadi malas, bersikap leka, mengundurkan diri, atau berhenti di tengah jalan. Sebab dia berbuat bukan sekadar untuk sebuah kejayaan atau pun kemenangan, tetapi yang plagi pokok tujuannya adalah untuk keredhaan Allah dan menuruti perintahNya.
Nabi Nuh ‘alaihissalam, pemuka para anbia’, hidup di tengah kaumnya selama 950 thn. Beliau berdakwah dan bertabligh, namun hanya sedikit sekali yang mahu beriman kepada beliau. Padahal pelbagai cara dakwah sudah ditempuh, waktu dan bentuk dakwahnya juga pelbagai cara, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah melalui perkataan beliau:
Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan terlalu menyombongkan diri.” (Nuh: 5-7)
Sekali pun harus menghabiskan masa selama 950 thn, beliau tetap menyeru kaumnya dan akhirnya ada 40 orang yang berhimpun bersama beliau. Sedangkan kaumnya yang lain berpaling dari beliau, sekali pun beliau sgt berharap mereka mahu beriman.
Al-Quran telah mengisahkan kepada kita individu-individu Mu’min di dalam surah al-Buruj. Mereka rela mengorbankan nyawa fi sabilillah dan mereka tidak mengatakan, “Kematian ini dpt memberi apa-apa manfaat terhadap dakwah kita?”
Mereka tidak berkata seperti itu, kerana mereka mempunyai keteguhan hati dan pengorbanan. Kejayaan dakwah ada di tgn Allah. Siapa yang tahu kalau pun darah mereka itu merupakan santapan lazat bagi pohon iman generasi berikutnya?
Perkara yang prinsip, alam orang yang mukhlis hanya bagi Allah semata. Dia cekal dalam hal ini dan terus seperti itu. Hasil dan buah di dunia diserahkan kepada Allah, kerana Allah-lah yang menyediakan penyebabnya dan membatasi waktunya. Dia hanya sekadar berusaha. Jika berjaya, maka segala puji hanya bagi Allah, dan jika gagal, maka segala daya kekuatan itu hanya milik Allah.
Sesungguhnya di akhirat Allah tidak akan bertanya kepada manusia, “Mengapa engkau tidak memperoleh kemenangan?” Tetapi Dia akan bertanya, “Mengapa engkau tidak berusaha?”
Allah tidak bertanya, “Mengapa engkau tidak berjaya?” Tetapi Dia bertanya, “Mengapa engkau tidak melakukannya?”

Kesepuluh: Merasa Senang Jika Ada Yang Bergabung

Merasa senang jika ada seseorang yang mempunyai kemampuan, bergabung dalam barisan mereka yang mahu beramal, untuk menegakkan bendera atau ikut taat dalam amal. Hal ini harus disertai dengan usaha memberikan kesempatan kepadanya, sehingga dia dpt mengambil tempat yang sesuai dengan kedudukannya. Dia tidak harus rasa terganggu, terganjal, dengki atau pun gelisah kerana kehadirannya. Malahan jika orang yang mukhlis melihat ada orang lain yang lebih baik darip dirinya yang mahu memikul tanggungjawabnya, maka dengan senang hati dia akan mundur, memberikan tanggungjawabnya kepada orang itu dan dia merasa senang menyerahkan jawatan kepadanya.
Sebahagian orang yang memegang jawatan, lebih-lebih lagi jika berada di barisan hadapan, tidak mau menyerah dalam mempertahankan kedudukannya, tidak mahu berundur walau bagaimanapun keadaannya dan suka menekan orang lain. Dia berkata, “Ini merupakan kedudukan yang telah diberikan Allah kepadaku, maka aku tidak mahu melepaskannya. Ini adalah pakaian yang telah dikenakan kepadaku, maka aku tidak mahu membukanya. Kedudukan ini datang dari langit.”
Padahal waktu terus berlalu, keadaan berubah dan kekuatan menjadi lemah. Setiap masa diperuntukkan bagi mereka yang sesuai dgnnya, sebagaimana setiap tempat diperuntukkan bagi orang yang mmg sesuai dgn tenoat itu. Banyak cemuhan ditujukan kepada penguasa yang bermati-matian mempertahankan kerusi dan kedudukannya, dgn anggapan bahawa merekalah yang paling mampu mengendalikan perahu dan menjaganya dari terpaan angin taufan.
Ketika mendapat kritik dari orang lain, para da’ie Muslim tidak boleh menutup mata atau menutup telinga. Mereka juga tidak boleh lpada tgn demi kemaslahatan dakwah sebagaimana orang lain yang tidak boleh lps tgn demi kemaslahatan negara dan ummah. Kerana andai lpada tgn, boleh jadi itu merupakan belenggu syaitan dan godaan yang dibisikkan ke dalam hati para aktivitis Islam. Sehingga jika yang lebih banyak berbicara adalah kepentingan diri sendiri, kecintaan kepada kedudukan dan dunia, maka itu dianggap pengabdian terhadap agama.
Brp ramai jemaah atau harakah yang disusupi kezaliman dari luar, pengaruh dari dalam atau kepincangan dalam berfikir dan beramal, tiada inovasi dan tajdid, sbagi akibat dari kerakusan satu atau dua orang yang terlibat di dalamnya. Dia tidak mau melepaskan kedudukannya kepada orang lain. Dia lupa bahawa bumi ini terus berputar, planet-planet terus berlalu, dunia terus berubah. Tetapi ternyata mereka tidak mahu berputar seiring dgn putaran bumi, tidak berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat serta keadaan manusia.
Malahan di antara mereka ada yang memikul beban dan tanggungjawab melebihi kemampuan bahunya. Padahal maksudnya ialah untuk menghalang jalan bagi orang lain yang lebih mampu dan lebih bertenaga, bukan saja orang lain itu dapat dikerahkan untuk mengurangkan beban amanat yang dipikulnya malah sekaligus sbagi melatih diri untuk memikul tanggungjawab.

Kesebelas: Rakus Terhadap Amal Yang Bermanfaat

Di antara bukti ikhlas adalah rakus terhadap amal yang paling diredhai Allah, dan bukan yang paling diredhai oleh dirinya sendiri. Sehingga orang yang mukhlis lebih mementingkan amal yang lebih banyak manfaatnya dan lebih mendalam pengaruhnya, tanpa disusupi hawa nafsu dan kesenangan diri sendiri.
Dia senang melakukan puasa nafilah dan solat dhuha. Namun sekali pun waktunya dihabiskan untuk mendamaikan mereka yang sdg bertikai, justeru itulah yang lebih dipentingkannya. Dalam sebuah hadith disebuntukan:
Ketahuilah, akan ku khabarkan kepadamu tentang sesuatu yang lebih utama darip darjat puasa, solat dan sedekah. Iaitu mendamaikan di antara sesama manusia. Sebab kerosakan di antara sesama amnusia adalah pemotong.” (HR Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi, hadith shahih)
Dia mendapatkan kesenangan di hati dan kegembiraan di dalam jiwa jika boleh melaksanakan umrah pada setiap bulan Ramadhan dan haji pada musimnya. Tetapi dikatakan kepadanya, “Sumbangkan saja wang itu untuk ikhwan kita di Palestin atau Bosnia atau Kashmir yang sedang mengalami kehancuran.” Jika hatinya tidak lapang dan menolak, maka dia seperti apa yang dikatakan al-Ghazali sbagai orang yang tertipu.
Ada seorang penderma dari salah satu negara kaya yang berkunjung ke Afrika untuk membangun sebuah masjid. Di sana dia ditemui oleh para wakil masyarakat, yang mengusulkan agar dia membaiki beberapa masjid lama yang hampir roboh. Sementara masjid-masjid itu berada di tempat strategik di tengah permukiman penduduk dan kewujudannya sangat diperlukan. Tabung yang mestinya untuk membangun satu masjid yang direncanakan, cukup untuk membaiki sepuluh masjid lama yang sudah ada dan hampir roboh itu. Tetapi ternyata dia menolak, kecuali jika namanya digunakan untuk nama-nama masjid tersebut.

Kedua Belas: Menghindari Ujub

Di antara tanda kesempurnaan ikhlas ialah tidak merosak amal dgn ujub, berasa senang dan puas terhadap amal yang telah dilakukannya. Sikap seperti ini dpt membutakan matanya untuk melihat celah-celah yang sewaktu-waktu muncul. Seharusnya apa yang perlu dilakukan oleh orang Mu’min stelah melaksanakan suatu amal ialah takut jikalau dia telah melakukan kelalaian, disedari mahupun tidak disedari. Maka dari itu dia takut jikalau amalnya tidak diterima. Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari mereka yang bertaqwa.” (al-Maidah: 27)
Di antara ungkapan yang sgt berkesan dalam masalah ini, yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib adalah, “Suatu keburukan yang menyesakkanmu lebih baik di sisi Allah darip kebaikan yang membuatmu ujub.”
Pengertian seperti ini juga ditetapkan Ibn ‘Atha’illah di dalam Al-Hikam, beliau berkata, “Boleh jadi Allah membuka pintu ketaatan bagimu, tetapi tidak membuka pintu penerimaan amal bagimu. Boleh jadi Allah mentaqdirkan kederhakaan ke atas dirimu, lalu kederhakaan itu menjadi sebab yang menghantarkan ke tujuan. Kederhakaan yang membuahkan ketundukan dan kepasrahan lebih baik darip ketaatan yang membuahkan ujub dan kesombongan.”
Dari sini al-Quran memperingatkan agar tidak menyertai sedekah dgn menyebut-nyebut sedekah itu dan ucapan yang menyakitkan, kerana dikhuatirkan justeru menggugurkan pahala yang dihilangkan pengaruhnya. Allah berfirman yang bermaksud:
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik darip sedekah yang diiringi dgnsuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah kamu dgn menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya kerana riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan bagi orang itu adalah seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu jadilah ia bersih (tidak bertanah).” (al-Baqarah: 263-264)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperingatkan ujub dan menjadikannya termasuk hal-hal yang merosak. Ibn Umar meriwayatkan dari Baginda yang bermaksud:
Tiga perkara yang merosak dan tiga perkara yang menyelamatkan. Sedangkan perkara-perkara yang merosak adalah kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ujub seseorang terhadap dirinya.” (HR Imam at-Thabrani, hadith hasan dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir, no. 3045)
Al-Quran telah mengisahkan kepada kita kejadian yang dialami kaum Muslimin pada waktu Perang Hunain. Allah telah memberikan kemenangan kepada mereka sewaktu Perang Badar, padahal mereka sama sekali tidak diunggulkan menang. Allah juga memberikan kemenangan kepada mereka pada Perang Khandaq, yang sebelum itu pandangan mereka meredup, hati mereka naik ke atas hingga sampai ke tenggorokan, mereka menduga yang bukan-bukan terhadap Allah dan mereka tergoncang dgn hebat. Allah juga memberikan kemenanagn kepada mereka pada waktu Perang Khaibar dan Fathu Makkah. Tetapi pada waktu Perang Hunain mereka menjadi ujub kerana jumlah mereka yang banyak. Ternyata jumlah yang banyak ini tidak memberi manfaat apa-apa, hingga mereka pasrah kepada Allah. Mereka pun menyedari bahawa kemenangan datang hanya dari sisi Allah. Dia berfirman yang bermaksud:
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai kaum Mu’min) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, iaitu pada waktu kamu menjadi sombong kerana banyaknya jumlah kamu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kamu, kemudian kamu lari ke blkg dgn bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada mereka yang beriman.” (at-Taubah: 25-26)
Orang Mu’min yang sedar adalah mereka yang menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah, lalu percaya bahawa kemenangan hanya dtg dari sisiNya. Firman Allah:
Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 126)
Kemuliaan juga datang hanya dari sisiNya:
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu.” (Fathir: 10)
Taufiq kepada hal-hal yang baik juga berasal dari pertolongan Allah. FirmanNya:
Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dgn (pertolongan) Allah.” (Hud: 88)
Hidayah hanya dtg dari sisiNya:
Barangsiapa yang disesatkanNya, maka kamu tidak boleh mendapatkan seorang pemimpin pun yang dtg yang mampu memberikan petunjuk kepadanya.” (al-Kahfi: 17)
Dikatakan dalam sebuah syair:
Andaikan Allah tiada mempedulikan kehendakmu
Nescaya tidak akan ada pilihan bagi semua manusia
Andaikan Dia tidak memberi petunjuk jalanmu
Nescaya kau akan tersesat sekali pun langit ada di sana

Ketiga Belas: Peringatan Agar Membersihkan Diri

Al-Quran telah memperingatkan untuk membersihkan diri dari pujian dan sanjungan ke atas dirinya, sebagaimana firmanNya:
Dia lebih mengetahui tentang (keadaan) kamu, ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih dalam janin perut ibumu. Maka janganlah kamu mengatakan diri kamu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (an-Najm: 32)
Allah mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap dirinya suci. Firman-Nya yang bermaksud:
Apakah kamu tidak memerhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan sesiapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (an-Nisa: 49)
Hal ini terjadi kerana mereka berkata, seperti yang dijelaskan Allah yang bermaksud:
Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” (al-Maidah: 18)
Perkataan mereka ini disanggah dengan firman-Nya yang bermaksud:
Tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni sesiapa yang dikehendaki-Nya dan menyeksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, kepunyaan  Allah-lah kerajaan di antara keduanya, dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (al-Maidah: 18)
Orang yang telah melakukan sesuatu amal shaleh, tidak boleh mempamerkan amalnya itu, kecuali jika untuk menyampaikan nikmat Rabb-Nya:
Dan terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dgn bersyukur).” (ad-Dhuha: 11)
Selain itu ia bertujuan untuk memancing orang lain agar mengikutinya. Sabda Baginda yang bermaksud:
“Barangsiapa membuat sunnah yang baik, maka dia mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yang mengerjakannya.” (HR Imam Muslim)
Dibolehkan juga jika bertujuan untuk membela diri kerana ada tuduhan yang dilemparkan kepadanya, padahal dia tidak bersangkut-paut dgn tuduhan tersebut, atau mungkin ada sebab-sebab lain. Semua itu diperbolehkan bagi orang yang batinnya sudah kuat kerana Allah semata dan bukan kerana tujuan yang bukan-bukan serta tidak tergolong pada ujub, tidak bertujuan mencari sanjungan dari orang lain dan mendapatkan kedudukan di kalangan masyarakat. Namun memang jrg orang yang bebas dari tujuan ini.
Orang Islam harus waspada, jangan sampai ujub terhadap diri sendiri, kerana kebaikan dan keshalihan yang dilakukannya, atau keyakinan bahawa hanya dialah yang beruntung sdg yang lain merugi, atau dia dan jamaahnyalah yang layak disebut al-firqah an-najiyyah (golongan yang selamat) sdgkan semua kaum Muslimin rosak, atau hanya merekalah yang layak disebut thaifah manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan) sdgkan yang lain dibiarkan.
Pandangan terhadap diri sendiri seperti ini adalah ujub yang merosak, dan pandangan terhadap orang-orang Islam seperti itu adalah pelecehan yang menghinakan.
Dalam sebuah hadith shahih disebuntukan: “Jika seseorang berkata ‘Manusia telah rosak’, maka dialah yang lebih rosak darip mereka.” (HR Imam Muslim)
Hadith ini diriwayatkan dgn bacaan ‘ahlakuhum’, dgn pengertian bahawa justeru dialah yang lebih banyak dan lebih cepat menimbulkan kerosakan, kerana dia terpedaya oleh diri sendiri, congkak terhadap amalannya dan melecehkan orh lain. Dgn bacaan dan makna seperti ini, bererti dialah yang menyebabkan kerosakan mereka, kerana dia berasa lebih unggul dari mereka dan juga membuatkan mereka berputus asa terhadap rahmat Allah.
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Larangan ini ditujukan kepada orang-orang yang berkata seperti itu, kerana ujub terhadap diri sendiri, mengecilkan orang lain dan berasa dirinya lebih unggul dari mereka. Ini adalah perbuatan yang diharamkan. Tetapi jika perkataan seperti itu disampaikan kerana memang ada kekurangan dalam pengamalan agama mereka atau kerana rasa prihatin terhadap situasi mereka dan juga situasi agama mereka, maka hal itu tidak apa-apa. Inilah yang ditafsir dan dihuraikan oleh para ulama, seperti yang dikatakan olek Malik bin Anas, al-Khattabi, al-Humaidi dan lain-lainnya.
Dalam hadith lain disebutkan, yang bermaksud:
“Cukuplah seseorang disebut buruk jika dia mencela saudara Muslimnya.” (HR Imam Muslim)
Sebab di antara orang Islam atas orang Islam lainnya adalah dilarang menzalimi, menghinakan dan melecehkannya. Tidak mungkin seseorang mencela saudaranya sendiri, sdgkan mereka ibarat dua cabang yang melekat di satu pohon yang sama.
Lihat apa yang dihuraikan oleh al-Ghazali di dlm Dzammusy-Syuhrah wa Intisyarushshit, dan Bayanu Fadhilatil-Khumul, dari kitab Dzamjul-Jah war-Riya’, dari kitab al-Ihya’, yang disyarahkan al-Allamah Murtadha az-Zubaidi, 8/232-238